Tunggu sebentar...
Upaya pencegahan korupsi di sektor kehutanan
Platform informasi terpadu yang menghadirkan data, kebijakan, dan praktik baik untuk memperkuat peran masyarakat adat dalam pencegahan korupsi di sektor kehutanan serta mendorong tata kelola hutan yang transparan, adil, dan berkelanjutan
Statistik Demografi
Sebaran OAP* di Tanah Papua
Sorong Selatan
45.374
OAP
15.056
Non-OAP
60.430
Penduduk
Tambrauw
45.374
OAP
15.056
Non-OAP
60.430
Penduduk
Jayapura
45.374
OAP
15.056
Non-OAP
60.430
Penduduk
Merauke
45.374
OAP
15.056
Non-OAP
60.430
Penduduk
*OAP = Orang Asli Papua

3 Pilar
Wujudkan Kelola Hutan Tanpa Korupsi
Tata kelola kehutanan yang lebih baik dimulai dari peraturan yang adil, lembaga yang kuat, dan partisipasi masyarakat.
Regulasi
Penguatan Kapasitas

SENTANI - Penjabat (Pj) Gubernur Papua Agus Fatoni terus membangun sinergi dengan seluruh elemen strategis di Tanah Papua, salah satunya dengan bertemu tokoh-tokoh adat Papua sebagai bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai lokal dan pemilik tanah adat. Kegiatan ini berlangsung di Hotel Suni Sentani, Papua, Rabu (08/09/2025).
Pertemuan ini diawali dengan proses penyambutan adat dan penyematan topi adat oleh kepala suku. Tentunya ini merupakan simbol penerimaan resmi masyarakat adat terhadap kehadiran dan kepemimpinan Fatoni sebagai Pj Gubernur Papua.
"Kami ucapkan terima kasih atas sambutan dan dukungan luar biasa dan ini jadi penguat, jadi kekuatan, jadi motivasi kami memajukan papua dan mewujudkan masyarakat menjadi sejahtera" ucap Fatoni.
"Adat merupakan bagian penting dari Papua, juga bagian yang tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tokoh adat tentunya memiliki peran kunci dalam menjaga kedamaian dan keutuhan wilayah ini" sambungnya.
Melalui kesempatan ini, Fatoni mengajak seluruh masyarakat adat untuk turut menyukseskan jalannya Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur. Hal ini tentunya bertujuan agar terus mempertahankan kerukunan dan iklim kondusif di masyarakat.
"Berikutnya kita perlu menjaga citra Papua. Saat ini seluruh mata memandang kita, karena saat ini PSU, Pilkada satu-satunya tinggal Papua, bukan hanya nasional tapi internasional juga akan melihat kita bagaimana kita bisa melaksanakan PSU dengan baik" jelas Fatoni.
"Maka saya harap terus melakukan imbauan kepada masyarakat, kepada umat bahwa Pilkada ini sangat penting, menggunakan hak pilih sebaik-baiknya dan tetap menjaga kerukunan, menjaga iklim kondusif" lanjutnya.
Dalam kesempatan yang sama, Tokoh Adat di Kabupaten Jayapura Ondoafi Organes Kaiway menyambut baik langkah Pj. Gubernur Agus Fatoni. Dia menyebut pertemuan ini sebagai sejarah baru, di mana seorang Pj. Gubernur yang baru dilantik langsung menemui pemuka adat sesaat setelah tiba di tanah Papua.
"Ini baru pertama kali terjadi, seorang pemimpin daerah langsung turun dari pesawat dan menyapa kami, para pemilik tanah ini. Ini wujud penghormatan besar terhadap adat Papua" ucapnya.
Diharapkan melalui silaturahmi ini dapat menjadi fondasi awal membangun kepercayaan, kolaborasi serta sinergi antara pemerintah dan masyarakat adat dalam menyukseskan PSU dan menjaga Papua sebagai tanah damai untuk semua anak bangsa.
Tahun 2024, pemerintah nasional menerbitkan kebijakan dan Proyek Strategis Nasional (PSN) di Kabupaten Merauke untuk Pengembangan Pangan dan Energi atas nama ‘swasembada pangan dan energi’ melalui program cetak sawah baru dan perkebunan tebu dan bioetanol untuk kepentingan ekonomi dan perdagangan, yang melibatkan pemerintah nasional, pemerintah daerah, militer dan korporasi, Jhonlin Group dan konsorsium Global Papua Abadi, dengan target area of interest seluas 2,2 juta hektar di wilayah Kabupaten Merauke.
Kebijakan dan operasi PSN Merauke penuh kontroversial, melanggar konstitusi dan peraturan perundang-undangan, tanpa ada partisipasi bermakna dan mengabaikan prinsip FPIC (Free Prior and Informed Consent), terjadi perampasan tanah adat, pengrusakan lingkungan hidup yang bernilai penting dan deforestasi, penggusuran dan penghilangan sumber pangan rakyat, ancaman pemindahan penduduk secara paksa, terjadi manipulasi, intimidasi dan kekerasan verbal terhadap masyarakat adat dan Pembela Hak Asasi Manusia (HAM) dan Lingkungan.
Ekstraksi sumber daya alam, intensi dan tindakan perampasan sumber kehidupan kami masyarakat adat suku Malind Anim, Maklew, Khimahima, Yei dan sebagainya, terhadap tanah, hutan, rawa, lapang dan sungai, yang dilakukan dengan merusak, menghancurkan dan menghilangkan keseluruhan dan/atau sebagian sumber kehidupan, spiritualitas dan tempat suci kami, seperti halnya menghilangkan kehidupan kami, seperti juga menyiksa tubuh kami secara fisik dan psikis, yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat kami. Tindakan dan intensi penghancuran sumber kehidupan masyarakat adat dan penyiksaan fisik maupun psikis yang dialami Suku Malind Anim, Maklew, Khimahima, Yei, dalam kebijakan dan PSN Merauke merupakan wujud pelanggaran HAM.
Pelapor Khusus PBB melalui surat Ref.: AL IDN 1/2025 tanggal 7 Maret 2025 tentang Dugaan Pelanggaran HAM PSN Merauke, yang disampaikan kepada pemerintah Indonesia, telah menunjukkan dugaan pelanggaran HAM mencakup pelanggaran hak atas pangan dan gizi masyarakat terdampak, hak atas air, hak atas hidup sehat; hak atas lingkungan yang bersih dan berkelanjutan, rusak dan hilangnya keanekaragaman hayati, ekosistem perairan dan berdampak pada iklim global ; hak atas budaya, identitas dan pengetahuan asli ; hak perempuan dan anak, yang mana mereka sangat rentan terhadap akibat-akibat PSN Merauke dan proyek serupa sebelumnya, hilangnya sumber mata pencaharian dan pekerjaan tradisional, pengrusakan metabolisme, menurunnya vitalitas dan kesehatan menyusui, anak kekurangan gizi dan stunting ; hak atas kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat.
Bagaimanapun proyek PSN Merauke melanggar konstitusi dan pelanggaran HAM serius ini semestinya diakhiri. Seharusnya negara berkewajiban menghormati dan melindungi hak hidup masyarakat adat Malind Anim dan lingkungan hidup.
Kami, Solidaritas Merauke, menyatakan menolak sepenuhnya akal bulus perampasan kekayaan rakyat lewat pembaruan kebijakan. Kami menuntut penghentian total Proyek Strategis Nasional serta proyek-proyek atas nama kepentingan nasional lainnya yang jelas-jelas mengorbankan rakyat. Pelaku kejahatan-negara-korporasi wajib mengembalikan semua kekayaan rakyat yang dicuri dan segera memulihkan kesehatan dan ruang hidup rakyat di seluruh wilayah yang dikorbankan atas nama kepentingan nasional.
Secara khusus kami meminta kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, untuk mengambil langkah-langkah hukum yang efektif dan menggunakan kewenangan untuk perlindungan HAM, hak perempuan dan hak anak, dan kelompok rentan lainnya dalam proyek PSN Merauke.
Melakukan kajian, penyelidikan dan pemantauan atas dugaan dan potensi pelanggaran HAM dalam proyek PSN Merauke, memanggil dan memeriksa pejabat menteri dan lembaga yang bertanggung jawab atas PSN Merauke, serta menghasilkan rekomendasi yang disampaikan kepada pemerintah nasional dan daerah, termasuk korporasi.
Kami meminta Komnas HAM menindaklanjuti pemantauan terhadap pelaksanaan rekomendasi Komnas HAM terkait PSN Merauke berdasarkan Surat Nomor 189/PM.00/R/III/2025 Tanggal 17 Maret 2025, yang meminta Gubernur Papua Selatan dan Bupati Merauke sebagai berikut : (1) meningkatkan keterlibatan masyarakat adat dalam perencanaan proyek; (2) melakukan pemantauan tanah ulayat dengan partisipasi masyarakat ; (3) pengakuan terhadap hak ulayat masyarakat hukum adat; (4) meningkatkan transparansi dalam proses penetapan HPK dan HPL ; (5) memastikan keberlanjutan sosial dan ekonomi masyarakat adat.
MANOKWARI,KLIKPAPUA.com- Kejaksaan Tinggi (Kejati) Papua Barat mengungkap dugaan tindak pidana korupsi dalam proyek pembangunan Kampus II SMK Kehutanan Manokwari yang berlokasi di Sorong. Proyek tersebut berada di bawah pengawasan Balai Besar Taman Nasional Teluk Cenderawasih.
Dugaan kerugian negara dalam proyek tersebut ditaksir mencapai Rp16,47 miliar. Hal ini disampaikan Kepala Kejati Papua Barat, Muhammad Syarifuddin, dalam konferensi pers yang digelar di Media Center Kejati Papua Barat, Jumat (11/7/2025).
Turut hadir dalam konferensi pers tersebut Asisten Tindak Pidana Khusus (Aspidsus), Asisten Intelijen (Asintel), para penyidik, dan koordinator.
Kajati menjelaskan bahwa perkara ini telah dinaikkan ke tahap penyidikan. "Ada satu perkara yang naik ke tahap penyidikan, yaitu proyek pembangunan SMK Kehutanan Kampus II Manokwari yang berlokasi di Sorong" ujarnya.
Menurut Syarifuddin, proyek ini dimulai berdasarkan kontrak kerja tertanggal 15 September 2023 dengan nilai pekerjaan sebesar Rp62 miliar.
Selama proses pelaksanaannya, proyek mengalami tiga kali pergantian kontraktor, dan kontrak berakhir pada 29 November 2024.
"Dari nilai kontrak tersebut, telah dicairkan dana sebesar Rp59 miliar. Namun hingga akhir masa kontrak, progres pembangunan baru mencapai 84 persen" jelasnya.
Menindaklanjuti hal tersebut, tim Kejati Papua Barat melakukan pemeriksaan fisik di lapangan pada 3 Juli 2025. Hasilnya, ditemukan selisih pekerjaan senilai Rp16,47 miliar atau sekitar 30 persen dari total anggaran.
"Temuan ini menjadi dasar untuk menaikkan status perkara ke penyidikan. Selanjutnya kami akan melakukan perhitungan kerugian keuangan negara oleh ahli, serta pengumpulan keterangan dari para saksi" tegas Kajati.
Penulis : Jihan Ammatuz Z, Hany Nurul Nissa S Editor : Aldya Saputra
“Sejatinya Masyarakat Hukum Adat adalah komponen yang sangat penting dan memiliki peran strategis. Berbicara Masyarakat Hukum Adat, tentu berbicara soal budaya dan warisan. Akan tetapi, ada satu hal yang sering kita lupakan—perihal inklusivitas dan pembangunan berkelanjutan. Dengan adanya Panitia PPMHA, akan lahir sebuah gagasan terkait pengakuan dan perlindungan di Masyarakat Hukum Adat.” ucap Wakil Bupati Kabupaten Merauke, Fauzun Nihayah, S.HI., M.H dalam agenda “Launching Perjanjian Kerja Sama (PKS) dan Workshop Peningkatan Kapasitas Panitia Masyarakat Hukum Adat” pada tanggal 18 – 19 Juni 2025, di Ruang Kazoari, Hotel Halogen, Merauke.
Pernyataan Wakil Bupati di atas merupakan bentuk apresiasi yang tidak lahir dari ruang kosong, melainkan cerminan dari kesadarannya bahwa masyarakat adat berada dalam posisi yang rentan. Ia menegaskan bahwa keterbatasan daya dukung daerah—baik dari segi infrastruktur, kapasitas kelembagaan, maupun sumber daya manusia—berpotensi semakin tertekan oleh ancaman pembangunan berskala besar.
Pemerintah kabupaten Merauke telah membentuk Panitia Masyarakat Hukum Adat (MHA) sebagai respon dari perubahan kebijakan pembangunan dan dinamika masyarakat adat di Kabupaten Merauke. Perubahan bentang alam dari pembukaan lahan perkebunan dan proyek-proyek infrastruktur mempengaruhi kehidupan masyarakat setempat.
Situasi tersebut dialami oleh perwakilan dari Distrik Ilwayab. Ia menyampaikan keluhan terkait dampak langsung investasi terhadap wilayah hidup mereka, “Kami tidak dilibatkan, bahkan batas wilayah kami tidak dihormati.” ujar Lodefikus Gebze, Sekretaris Kampung Wanam, Distrik Ilwayab, dalam sesi diskusi, Rabu (18/6).
Kepala Dinas PMK Merauke, Drs. Daud S. Hollenger, M.Pd, menggarisbawahi pentingnya memahami karakteristik masyarakat hukum adat dan peran strategis tokoh adat dalam pengambilan keputusan. “Kita harus membangun perspektif bersama dan tidak membenturkan masyarakat dengan kepentingan eksternal,” ujarnya. Beliau menyadari bahwa inisiatif pemetaan dan penguatan masyarakat adat perlu dilakukan segera, seperti yang telah lebih dahulu dilakukan oleh Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) lokal.
Melalui kerjasama multipihak dengan OMS, akademisi, tokoh masyarakat, serta masyarakat adat, peran strategis Panitia MHA akan berdampak positif untuk mendorong percepatan pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat di Kabupaten Merauke. Kepala BRWA, Kasmita Widodo, mendorong optimisme Panitia PPMHA di Kabupaten Merauke bisa menjadi kelembagaan yang bersifat permanen. “Perlu ada unit struktural yang membantu permasalahan ini,” ujarnya.
Ia mencontohkan beberapa inisiatif serupa, seperti Badan Pengelola Urusan Masyarakat Adat (BPUMA) di Kabupaten Malinau dan Gugus Tugas Masyarakat Adat (GTMA) di Kabupaten Jayapura, “Unit yang dibentuk berdasarkan inisiatif Pemkab untuk mengawal agenda PPMHA secara berkelanjutan. Oleh karena itu, aspek kelembagaan ini perlu menjadi perhatian utama dalam proses perumusan Peraturan Daerah.” lanjutnya.
Agenda “Launching Perjanjian Kerja Sama (PKS) dan Workshop Peningkatan
Kapasitas Panitia Masyarakat Hukum Adat”, dihadiri oleh Pemerintah Kabupaten Merauke, Majelis Rakyat Papua (MRP), sejumlah OMS dan perwakilan masyarakat adat. Peluncuran PKS ini menjadi momentum simbolis dimulainya upaya kolaboratif dalam mendorong pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat di Merauke—sebagai sebuah langkah yang selama ini diharapkan untuk menghadapi dinamika yang ada.
Penandatanganan PKS dilakukan oleh Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan
Kampung (DPMK) mewakili Pemerintah Daerah, bersama beberapa OMS seperti BRWA, Samdhana Institute, Harmoni Alam Papuana, Yayasan Wasur Lestari (YWL), Forum Kerjasama (FOKER) Lembaga Swadaya Masyarakat Papua, dan EcoNusa Foundation (18/06). Peranan simbolis ini bukan semata seremoni, melainkan langkah strategis untuk menyempurnakan proses pengakuan yang telah berjalan sebelumnya, serta memastikan bahwa tahapan selanjutnya berjalan lebih efektif dan sistematis.
Agenda Workshop Peningkatan Kapasitas Panitia PPMHA menjadi ruang yang lebih dari sekadar pelatihan teknis. Dalam sesi-sesi diskusi, terungkap berbagai dinamika yang mencerminkan tantangan dalam mendorong pengakuan PPMHA di Kabupaten Merauke—mulai dari belum adanya dukungan kebijakan, persoalan PSN, hingga terbatasnya kapasitas kelembagaan pemerintah, Kamis (19/06). Bapperida Kabupaten Merauke, Virgil Yeg Yolman S.IP, mengungkapkan bahwa keberadaan sub-suku masyarakat adat telah menjadi pertimbangan penting dalam penyusunan Dokumen Perencanaan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Hal ini menunjukkan bahwa identitas dan peran masyarakat adat mulai diakui dalam arah kebijakan pembangunan daerah. Sementara itu, Perkumpulan Wallaby, menggarisbawahi pentingnya melakukan kajian singkat terhadap identitas suku-suku dan sub-suku yang ada di Merauke. Mereka menekankan bahwa tanpa pemahaman yang jelas, perumusan Peraturan Daerah bisa menimbulkan multitafsir dan berisiko mengabaikan struktur sosial adat yang sesungguhnya.
Panitia PPMHA juga menindaklanjuti terkait rencana kerja untuk merespons
beberapa persoalan. Panitia menempatkan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang PPMHA sebagai agenda prioritas. Ranperda ini diharapkan menjadi dasar hukum yang memperkuat posisi kelembagaan panitia, sehingga seluruh tugas dan mandat pengakuan masyarakat adat dapat dijalankan secara sah dan terstruktur.
Panitia juga merancang agenda kerja untuk membangun komunikasi dengan Dewan
Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) dan Majelis Rakyat Papua (MRP) untuk melakukan sosialisasi serta mendorong dukungan atas agenda PPMHA. Dialog dengan Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Marind juga dirancang sebagai langkah awal dalam memperkuat jejaring lokal yang strategis, Jumat (20/06).
Rangkaian kegiatan ini menandai dimulainya langkah kolektif menuju pengakuan dan
perlindungan hak-hak masyarakat adat di Kabupaten Merauke. Kolaborasi yang terjalin melalui Panitia PPMHA diharapkan menjadi ruang strategis untuk mendorong kebijakan yang inklusif, partisipatif, dan berkelanjutan.
Inilah data pengakuan wilayah adat yang di rilis BRWA bersama Foker LSM Papua di Jayapura, dengan lokasi pemetaannya berada di wilayah Papua, Papua Barat, Papua Barat Daya, Papua Selatan, dan Papua Pegunungan.