Tunggu sebentar...
Pemerintah Kabupaten Merauke telah membentuk Panitia Masyarakat Hukum Adat (MHA)
Penulis : Jihan Ammatuz Z, Hany Nurul Nissa S Editor : Aldya Saputra
“Sejatinya Masyarakat Hukum Adat adalah komponen yang sangat penting dan memiliki peran strategis. Berbicara Masyarakat Hukum Adat, tentu berbicara soal budaya dan warisan. Akan tetapi, ada satu hal yang sering kita lupakan—perihal inklusivitas dan pembangunan berkelanjutan. Dengan adanya Panitia PPMHA, akan lahir sebuah gagasan terkait pengakuan dan perlindungan di Masyarakat Hukum Adat.” ucap Wakil Bupati Kabupaten Merauke, Fauzun Nihayah, S.HI., M.H dalam agenda “Launching Perjanjian Kerja Sama (PKS) dan Workshop Peningkatan Kapasitas Panitia Masyarakat Hukum Adat” pada tanggal 18 – 19 Juni 2025, di Ruang Kazoari, Hotel Halogen, Merauke.
Pernyataan Wakil Bupati di atas merupakan bentuk apresiasi yang tidak lahir dari ruang kosong, melainkan cerminan dari kesadarannya bahwa masyarakat adat berada dalam posisi yang rentan. Ia menegaskan bahwa keterbatasan daya dukung daerah—baik dari segi infrastruktur, kapasitas kelembagaan, maupun sumber daya manusia—berpotensi semakin tertekan oleh ancaman pembangunan berskala besar.
Pemerintah kabupaten Merauke telah membentuk Panitia Masyarakat Hukum Adat (MHA) sebagai respon dari perubahan kebijakan pembangunan dan dinamika masyarakat adat di Kabupaten Merauke. Perubahan bentang alam dari pembukaan lahan perkebunan dan proyek-proyek infrastruktur mempengaruhi kehidupan masyarakat setempat.
Situasi tersebut dialami oleh perwakilan dari Distrik Ilwayab. Ia menyampaikan keluhan terkait dampak langsung investasi terhadap wilayah hidup mereka, “Kami tidak dilibatkan, bahkan batas wilayah kami tidak dihormati.” ujar Lodefikus Gebze, Sekretaris Kampung Wanam, Distrik Ilwayab, dalam sesi diskusi, Rabu (18/6).
Kepala Dinas PMK Merauke, Drs. Daud S. Hollenger, M.Pd, menggarisbawahi pentingnya memahami karakteristik masyarakat hukum adat dan peran strategis tokoh adat dalam pengambilan keputusan. “Kita harus membangun perspektif bersama dan tidak membenturkan masyarakat dengan kepentingan eksternal,” ujarnya. Beliau menyadari bahwa inisiatif pemetaan dan penguatan masyarakat adat perlu dilakukan segera, seperti yang telah lebih dahulu dilakukan oleh Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) lokal.
Melalui kerjasama multipihak dengan OMS, akademisi, tokoh masyarakat, serta masyarakat adat, peran strategis Panitia MHA akan berdampak positif untuk mendorong percepatan pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat di Kabupaten Merauke. Kepala BRWA, Kasmita Widodo, mendorong optimisme Panitia PPMHA di Kabupaten Merauke bisa menjadi kelembagaan yang bersifat permanen. “Perlu ada unit struktural yang membantu permasalahan ini,” ujarnya.
Ia mencontohkan beberapa inisiatif serupa, seperti Badan Pengelola Urusan Masyarakat Adat (BPUMA) di Kabupaten Malinau dan Gugus Tugas Masyarakat Adat (GTMA) di Kabupaten Jayapura, “Unit yang dibentuk berdasarkan inisiatif Pemkab untuk mengawal agenda PPMHA secara berkelanjutan. Oleh karena itu, aspek kelembagaan ini perlu menjadi perhatian utama dalam proses perumusan Peraturan Daerah.” lanjutnya.
Agenda “Launching Perjanjian Kerja Sama (PKS) dan Workshop Peningkatan
Kapasitas Panitia Masyarakat Hukum Adat”, dihadiri oleh Pemerintah Kabupaten Merauke, Majelis Rakyat Papua (MRP), sejumlah OMS dan perwakilan masyarakat adat. Peluncuran PKS ini menjadi momentum simbolis dimulainya upaya kolaboratif dalam mendorong pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat di Merauke—sebagai sebuah langkah yang selama ini diharapkan untuk menghadapi dinamika yang ada.
Penandatanganan PKS dilakukan oleh Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan
Kampung (DPMK) mewakili Pemerintah Daerah, bersama beberapa OMS seperti BRWA, Samdhana Institute, Harmoni Alam Papuana, Yayasan Wasur Lestari (YWL), Forum Kerjasama (FOKER) Lembaga Swadaya Masyarakat Papua, dan EcoNusa Foundation (18/06). Peranan simbolis ini bukan semata seremoni, melainkan langkah strategis untuk menyempurnakan proses pengakuan yang telah berjalan sebelumnya, serta memastikan bahwa tahapan selanjutnya berjalan lebih efektif dan sistematis.
Agenda Workshop Peningkatan Kapasitas Panitia PPMHA menjadi ruang yang lebih dari sekadar pelatihan teknis. Dalam sesi-sesi diskusi, terungkap berbagai dinamika yang mencerminkan tantangan dalam mendorong pengakuan PPMHA di Kabupaten Merauke—mulai dari belum adanya dukungan kebijakan, persoalan PSN, hingga terbatasnya kapasitas kelembagaan pemerintah, Kamis (19/06). Bapperida Kabupaten Merauke, Virgil Yeg Yolman S.IP, mengungkapkan bahwa keberadaan sub-suku masyarakat adat telah menjadi pertimbangan penting dalam penyusunan Dokumen Perencanaan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Hal ini menunjukkan bahwa identitas dan peran masyarakat adat mulai diakui dalam arah kebijakan pembangunan daerah. Sementara itu, Perkumpulan Wallaby, menggarisbawahi pentingnya melakukan kajian singkat terhadap identitas suku-suku dan sub-suku yang ada di Merauke. Mereka menekankan bahwa tanpa pemahaman yang jelas, perumusan Peraturan Daerah bisa menimbulkan multitafsir dan berisiko mengabaikan struktur sosial adat yang sesungguhnya.
Panitia PPMHA juga menindaklanjuti terkait rencana kerja untuk merespons
beberapa persoalan. Panitia menempatkan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang PPMHA sebagai agenda prioritas. Ranperda ini diharapkan menjadi dasar hukum yang memperkuat posisi kelembagaan panitia, sehingga seluruh tugas dan mandat pengakuan masyarakat adat dapat dijalankan secara sah dan terstruktur.
Panitia juga merancang agenda kerja untuk membangun komunikasi dengan Dewan
Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) dan Majelis Rakyat Papua (MRP) untuk melakukan sosialisasi serta mendorong dukungan atas agenda PPMHA. Dialog dengan Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Marind juga dirancang sebagai langkah awal dalam memperkuat jejaring lokal yang strategis, Jumat (20/06).
Rangkaian kegiatan ini menandai dimulainya langkah kolektif menuju pengakuan dan
perlindungan hak-hak masyarakat adat di Kabupaten Merauke. Kolaborasi yang terjalin melalui Panitia PPMHA diharapkan menjadi ruang strategis untuk mendorong kebijakan yang inklusif, partisipatif, dan berkelanjutan.
Berita Terkait
Pengakuan Wilayah Adat
Pengakuan Wilayah Adat