Padiatapa

Persetujuan yang Bebas, Informasional, dan Tanpa Paksaan

Apa itu Padiatapa?

Padiatapa, atau dalam istilah internasional dikenal sebagai FPIC (Free, Prior and Informed Consent), adalah hak kolektif masyarakat adat dan komunitas lokal untuk memberikan atau menolak persetujuan terhadap rencana pembangunan atau kegiatan yang berdampak pada wilayah, kehidupan, dan sumber daya mereka. Persetujuan ini harus diberikan secara bebas (tanpa tekanan atau paksaan), dilakukan sebelum aktivitas berlangsung, dan didasarkan pada informasi yang lengkap dan mudah dipahami.

Padiatapa menjamin bahwa suara masyarakat menjadi pusat dalam setiap proses pengambilan keputusan yang memengaruhi mereka secara langsung, terutama dalam proyek-proyek di sektor sumber daya alam, seperti kehutanan, pertambangan, dan perkebunan.

Dasar Hukum Padiatapa

Prinsip Padiatapa telah diakui dalam berbagai kerangka hukum nasional dan internasional, di antaranya:

  • Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP) Tahun 2007, khususnya Pasal 10, 11, 19, dan 32, yang menegaskan hak masyarakat adat untuk memberikan persetujuan atas proyek yang menyangkut wilayah dan sumber daya mereka.

  • Konvensi ILO No. 169 tentang Masyarakat Adat dan Suku-Suku di Negara-Negara Merdeka, yang menekankan pentingnya konsultasi dan partisipasi dalam pengambilan keputusan.

  • Di Indonesia, prinsip ini dikuatkan melalui berbagai regulasi, seperti:

    • Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,

    • Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012, yang mengakui hutan adat sebagai bukan hutan negara,

    • Permendagri No. 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.

Praktik Terbaik (Best Practice)

Berbagai pengalaman menunjukkan bahwa penerapan Padiatapa secara benar dapat memperkuat hubungan antara masyarakat dan pelaku pembangunan, serta mencegah konflik sosial. Beberapa contoh praktik terbaik meliputi:

  • Kabupaten Jayapura, Papua, telah menerapkan prinsip Padiatapa dalam penyusunan rencana tata ruang dan pembangunan berbasis wilayah adat. Proses ini dilakukan dengan musyawarah adat yang difasilitasi oleh lembaga masyarakat adat setempat.

  • Tambrauw, Papua Barat Daya, melalui Perda Nomor 6 Tahun 2015 tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat, menekankan pelibatan masyarakat adat dalam proses perizinan pemanfaatan lahan.

  • Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat Daya, melalui penguatan kelembagaan adat dan dukungan pemerintah daerah, menerapkan proses Padiatapa dalam pengakuan wilayah adat dan pengelolaan sumber daya alam. Proses ini dilakukan secara partisipatif, dengan dokumentasi wilayah adat melalui pemetaan partisipatif, dialog antar generasi, serta pelibatan tokoh adat, perempuan, dan pemuda.

  • Kabupaten Merauke, Papua Selatan, menjadi salah satu wilayah yang mendorong pelaksanaan Padiatapa dalam konteks pengelolaan hutan dan perlindungan hak masyarakat adat Marind. Dalam berbagai inisiatif pembangunan, pelibatan masyarakat adat dilakukan sejak tahap perencanaan, dengan penyampaian informasi yang lengkap dalam bahasa lokal serta menggunakan pendekatan budaya yang menghormati struktur sosial dan nilai-nilai komunitas setempat.