Penguatan Kapasitas
Korupsi di sektor kehutanan bukan hanya sekadar persoalan birokrasi yang berbelit. Hal ini berdampak luas pada kerusakan hutan, hilangnya potensi penerimaan negara, hingga menurunnya kesejahteraan masyarakat adat.
Pengembangan modul pelatihan pencegahan korupsi dalam proses perizinan dan pemanfaatan hasil hutan sangatlah penting. Modul ini dirancang setelah studi literatur mendalam dan wawancara dengan 25 institusi di Papua dan Papua Barat, mulai dari Dinas Kehutanan, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, hingga perusahaan pemegang izin pemanfaatan hutan (HPH).
Fokus modul tidak hanya pada prosedur perizinan, tetapi juga pada penguatan fungsi pengawasan, peningkatan transparansi proses rekomendasi gubernur, dan tata kelola persetujuan masyarakat adat. Dalam praktiknya, persetujuan masyarakat adat sering dilakukan langsung oleh perusahaan tanpa pendampingan pemerintah daerah. Kondisi ini memicu risiko korupsi dan konflik lahan berkepanjangan.
Dari sisi potensi kerugian negara, data menunjukkan bahwa penebangan kayu ilegal menyebabkan kebocoran penerimaan yang signifikan. Diperkirakan 60-80% kayu bulat di Indonesia tidak tercatat secara resmi, dengan potensi kerugian pajak mencapai Rp1,54 triliun. Di Tanah Papua, potensi kehilangan nilai sumber daya alam dan stok karbon jauh lebih besar, mengingat 83% wilayahnya berupa kawasan hutan, termasuk hutan rawa gambut yang menyimpan cadangan karbon masif.
Proses perizinan yang saat ini sebagian sudah berbasis daring melalui OSS (Online Single Submission) dinilai berhasil memangkas celah korupsi di tahap perizinan pusat. Namun demikian, asesmen menemukan bahwa proses rekomendasi gubernur, verifikasi lokasi, dan koordinasi persetujuan masyarakat adat masih dilakukan manual. Tahapan inilah yang paling rentan terhadap praktik gratifikasi, pungutan liar, dan penyalahgunaan kewenangan.
Selain peningkatan kapasitas SDM, modul pelatihan juga menekankan pentingnya optimalisasi peran Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan Cabang Dinas Kehutanan (CDK) dalam pengawasan lapangan. KPH dan CDK yang memahami prosedur legalisasi kayu serta potensi kebocoran dalam rantai pasok menjadi kunci pengawasan yang lebih efektif.
Prosedur yang transparan dan terstandar sangat dibutuhkan agar perusahaan tidak lagi bisa memanfaatkan celah hukum untuk memperoleh izin secara sepihak. Hal ini bukan hanya soal keadilan sosial, tetapi juga pencegahan konflik agraria di masa depan.
Langkah-langkah pencegahan korupsi dalam pengelolaan hutan Papua hanya akan berhasil jika ada kolaborasi erat antara pemerintah daerah, pemerintah pusat, masyarakat sipil, dan masyarakat adat. Modul pelatihan yang telah dikembangkan menjadi pijakan awal bagi perubahan paradigma tata kelola yang lebih akuntabel dan inklusif.
Melalui komitmen bersama, peluang ekonomi dari sektor kehutanan dapat dikelola secara transparan dan berkelanjutan. Dengan demikian, Tanah Papua tidak hanya dikenal sebagai paru-paru Indonesia, tetapi juga sebagai contoh sukses pencegahan korupsi yang berdampak nyata bagi masyarakat dan lingkungan.