Regulasi

Perbaikan tata kelola pertanahan di Papua bukan hanya soal administrasi dokumen atau pengakuan wilayah adat. Lebih dari itu, hal ini berkontribusi langsung pada upaya pencegahan korupsi yang kerap merugikan Masyarakat Hukum Adat (MHA). Ketika pengakuan hak atas tanah menjadi lemah, korupsi dalam proses perizinan dan alokasi lahan bisa terjadi lebih mudah, memicu hilangnya hak-hak masyarakat adat secara sewenang-wenang. Meskipun sudah ada berbagai kebijakan pengakuan wilayah adat, akuntabilitas publik terhadap pengelolaan sumber daya alam belum berjalan efektif. Masyarakat adat di Papua masih sering termarjinalkan, dengan minimnya ruang partisipasi dan model pembangunan yang belum berpihak pada kepentingan mereka. Hal ini menciptakan kerentanan terhadap praktik-praktik penyalahgunaan wewenang.

Kegiatan pemetaan marga yang dilakukan di Sorong Selatan menunjukkan betapa luas persoalan penguasaan tanah oleh unit marga. Namun, perhatian lembaga pemerintah daerah terhadap hasil pemetaan ini masih terbatas, karena prioritas dan kewenangan antar-instansi kerap berbeda. Sementara itu, pelatihan antikorupsi yang melibatkan masyarakat menunjukkan bahwa pengetahuan mengenai negosiasi dengan perusahaan dapat memperkuat posisi tawar komunitas adat.

Hingga saat ini, sekitar 15 kabupaten di Tanah Papua memiliki regulasi pengakuan MHA dengan lebih dari 40 komunitas yang wilayah adatnya telah ditetapkan. Namun, pendataan yang mutakhir dan konsisten masih menjadi tantangan. Informasi sering kali tersebar di berbagai laman, seperti BRWA dan SIOAP, yang tidak selalu diperbarui secara rutin.

Salah satu masalah mendasar adalah belum adanya lembaga pemerintah daerah yang secara menyeluruh bertanggung jawab untuk mengidentifikasi, memverifikasi, dan mendaftarkan wilayah adat. Akibatnya, data wilayah adat tidak terdokumentasi secara sistematis. Regulasi pertanahan dan pemanfaatan sumber daya alam pun belum cukup adaptif terhadap kekhususan hukum adat di Papua. Misalnya, tanah adat umumnya hanya bisa disewakan atau dipinjamkan, bukan diperjualbelikan, tetapi regulasi nasional belum sepenuhnya mengakomodasi prinsip ini. Keragaman regulasi pengakuan MHA di setiap kabupaten menciptakan perbedaan besar dalam implementasi di lapangan. Faktor keberhasilan pengakuan wilayah adat setidaknya ditentukan oleh dua hal: pendampingan LSM yang memiliki sumber daya memadai dan kemauan politik kepala daerah. Tanpa keduanya, proses pengakuan kerap berjalan lambat atau berhenti di tengah jalan.

Ke depan, kebijakan otonomi khusus perlu dimaksimalkan agar tidak hanya menjadi kerangka normatif, melainkan benar-benar menghadirkan perlindungan nyata bagi MHA. Penguatan instrumen hukum, pengelolaan data yang lebih baik, serta forum pertukaran pembelajaran antar-daerah menjadi kunci dengan sinergi antara pemerintah pusat, daerah, masyarakat sipil, dan komunitas adat, tata kelola pertanahan yang lebih adil dan transparan.

Daftar Regulasi